PENDAHULUAN
Fakta dalam setiap pelaksanaan pemilu
masyarakat yang tidak menggunakan hak
pilihnya selalu ada dan cendrung meningkat dari setiap pelaksanaan pemilu. Perilaku
tidak memilih pemilih di Indonesia dikenal dengan sebutan golput. Kata golput adalah singkatan dari golongan
putih. Makna inti dari kata golput adalah tidak menggunakan hak pilih dalam
pemilu dengan berbagai faktor dan alasan.
Fenomena golput sudah terjadi
sejak diselenggarakan pemilu pertama tahun 1955, golput lebih diartikan sebagai
gerakan moral untuk memprotes penerapan sistem pemilu yang tidak demokratis dan
juga sebagai penunjukan aspirasi dari segolongan rakyat yang merasa tidak puas
dengan kinerja para wakil mereka dan moral mereka serta penerapan hokum dan ketidak adilan oleh penguasa saat ini
Sejak era reformasi .sampai sekarang ,tren golput cendrung meningkat. Pileg 1999 angka golput mencapai 6,4%, pileg 2004 meningkat menjadi 15,9% dan pileg 2009 menvapai angka 29,1%.
Sejak era reformasi .sampai sekarang ,tren golput cendrung meningkat. Pileg 1999 angka golput mencapai 6,4%, pileg 2004 meningkat menjadi 15,9% dan pileg 2009 menvapai angka 29,1%.
Menurut Pengamatan dari penulis Golput tidak hanya terjadi dalam pemilu
legislatif. Dalam perhelatan politik di tingkat lokal seperti pemilihan umum
kepala daerah (pilkada) gejala golput juga terjadi. Dalam pilkada Gubernur nusa
tenggara barat (PILGUB) dari data quick
count yang dilakukan LSI golput mencapai angka 34%. Pilkada bima (cawalkot)
2013 angka masyarakat yang tidak memilih melebihi angka 15%-34%, kasus yang
sama juga terjadi di pilgub bali di
atas 15-35%% tidak menggunakan hak
pilih.
Berangkat dari pemaparan diatas tulisan
ini mencoba menganalisa penyebab masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya
(golput).
KERANGKA BERPIKIR
Menurut Teori Dalam kajian perilaku pemilih hanya ada dua
konsep utama, yaitu;
1.perilaku memilih (voting behavior) dan perilaku tidak
memilih (non voting behavior). David Moon mengatakan ada dua pendekatan
teoritik utama dalam menjelaskan prilaku non-voting yaitu: pertama, menekankan
pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik institusional
sistem pemilu
kedua,
menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan
mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih (dalam Hasanuddin M. Saleh;2007).
2.Istilah golput muncul pertama kali menjelang pemilu
pertama zaman Orde Baru tahun 1971. Pemakarsa sikap untuk tidak memilih itu,
antara lain Arief Budiman, Julius Usman dan almarhum Imam Malujo Sumali.
Langkah mereka didasari pada pandangan bahwa aturan main berdemokrasi tidak
ditegakkan, cenderung diinjak-injak (Fadillah Putra ;2003 ; 104). Golput
menurut Arif Budiman bukan sebuah organisasi tanpa pengurus tetapi hanya
merupakan pertemuan solidaritas (Arif Budiman). Sedangkan Arbi Sanit mengatakan
bahwa golput adalah gerakan protes politik yang didasarkan pada segenap problem
kebangsaan, sasaran protes dari dari gerakan golput adalah penyelenggaraan
pemilu. Mengenai golput alm. KH. Abdurrahaman Wahid pernah mengatakan “ kalau
tidak ada yang bisa di percaya, ngapain repot- repot ke kotak suara? Dari pada
nanti kecewa (Abdurrahamn Wahid, dkk, 2009;
Jadi berdasarkan hal di atas,
golput
adalah mereka yang dengan sengaja dan dengan suatu maksud dan tujuan yang jelas
menolak memberikan suara dalam pemilu karna tidak adanya perubahan yang terjadi
dalam upaya peningkatan kesejahteraan rakyat sesuai yang diamanatkan oleh UUD
45
3. Eep Saefulloh Fatah, mengklasifikasikan golput atas empat golongan.
Pertama, golput teknis, yakni mereka yang karena
sebab-sebab teknis tertentu (seperti keluarga meninggal, ketiduran, dan
lain-lain) berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara, atau mereka yang
keliru mencoblos sehingga suaranya dinyatakan tidak sah.
Kedua, golput teknis-politis, seperti mereka yang
tidak terdaftar sebagai pemilih karena kesalahan dirinya atau pihak lain
(lembaga statistik, penyelenggara pemilu).
Ketiga, golput politis, yakni mereka yang merasa tak
punya pilihan dari kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada
akan membawa perubahan dan perbaikan
. Keempat, golput ideologis, yakni mereka yang tak
percaya pada mekanisme demokrasi (liberal) dan tak mau terlibat di dalamnya
entah karena alasan fundamentalisme agama atau alasan politik-ideologi lain
(dalam Hery M.N. Fathah).
4.Sedangkan menurut Novel Ali(1999;22)., di Indonesia terdapat dua
kelompok golput
Pertama, adalah kelompok golput awam. Yaitu mereka
yang tidak mempergunakan hak pilihnya bukan karena alasan politik, tetapi
karena alasan ekonomi, kesibukan dan sebagainya. Kemampuan politik kelompok ini
tidak sampai ke tingkat analisis, melainkan hanya sampai tingkat deskriptif
saja.
Kedua, adalah kelompok golput pilihan. Yaitu mereka
yang tidak bersedia menggunakan hak pilihnya dalam pemilu benar-benar karena
alasan politik. Misalnya tidak puas dengan kualitas partai politik yang ada.
Atau karena mereka menginginkan adanya satu organisasi politik lain yang
sekarang belum ada. Maupun karena mereka mengkehendaki pemilu atas dasar sistem
distrik, dan berbagai alasan lainnya. Kemampuan analisis politik mereka jauh
lebih tinggi dibandingkan golput awam. Golput pilihan ini memiliki kemampuan
analisis politik yang tidak Cuma berada pada tingkat deskripsi saja, tapi juga
pada tingkat evaluasi.
TINJAUAN PENELITIAN
Berdasarkan Uraian teori
diatas penulis menyimpulkan ada tiga faktor utama yang menyebabkan
tingginya angka golput dalam pemilu yaitu ;
1. Masih lemahnya sosialisasi tentang pemilu. Dari
temuan penelusuran tersebut di tegaskan
bahwa Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kota serta Komisi Pemilihan Umum (KPU)
dinyatakan masih sangat kecil peranannya dalam rangka mensosialisasikan
pengetahuan tentang pelakasanaan Pemilihan
2.Masyarakat lebih mementingkan kebutuhan ekonomi. bahwa mayoritas
responden lebih memilih untuk bekerja dari pada datang ke TPS memberikan suara,
karena faktor ekonomi dimana masyarakat lebih memilih bekerja dari pada hilang
pengasilannya dari pada hadir di TPS yang berdampak pada berkurangnya
penghasilan, sementara tuntutan ekonomi keluarga semakin kuat.
3.Sikap apatisme terhadap pemilu.
Hasil temuan penelitian mengatakan mayoritas responden (67%) menganggap bahwa
dengan dilaksanakannya pemilu ini tidak akan membawa perubahan apapun baik
terhadap negara maupun kehidupan masyarakat
pemilu ini
hanyalah sebuah rutinitas politik saja tanpa menjanjikan suatu perubahan yang
berarti.
ANALISA PENYEBAB GOLPUT
Meninjau pemaparan
secara teoritis yang dikemukakan oleh David Moon adanya perilaku non-voting dalam pemilu adalah
1. karakteristik
sosial dan psikologi pemilih serta karakteristik institusional sistem pemilu
2.harapan pemilih tentang keuntungan dan
kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak hadir memilih.
Merujuk pendapat Arbi Sanit golput dapat
diklasifikasi menjadi tiga yaitu
- menusuk lebih dari satu gambar
partai.
-menusuk bagian putih dari kartu
suara.
-tidak mendatangi kotak suara
dengan kesadaran untuk tidak menggunakan hak pilih.
Berdasarkan teori
yang dikemukakan diatas ada 4
macam faktor yang menyebabkan seseorang memilih golput
1.Faktor individu
pemilih
Sikap apatisme
terhadap pemilu . Hasil temuan penelitian mengatakan mayoritas responden (67%)
menganggap bahwa dengan dilaksanakannya pemilu ini tidak akan membawa perubahan
apapun baik terhadap kehidupan masyarakat,dan sikap apatis ini terjadi karena
kemampuan tingkat intelektual pemilih yang tinggi dan juga kemapuan individu/masyarakat menganalisa perkembangan politik diindonesia
lewat media masa dan sepak terjang para wakil rakyat yang semakin hari semakin
amburadul,mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golongan sertai partainya
2.Faktor
administrasi
aspek
administrasi adalah permasalahan kartu identitas. Masih ada masyarakat tidak
memilki KTP. Jika masyarakat tidak memiliki KTP maka tidak akan terdaftar di
DPT (Daftar Pemimilih Tetap) karena secara administtaif KTP yang menjadi
rujukkan dalam mendata dan membuat DPT. Maka masyarakat baru bisa terdaftar
sebagai pemilih menimal sudah tinggal 6 bulan di satu tempat. Golput yang
diakibat oleh faktor administratif ini bisa diminimalisir jika para petugas
pendata pemilih melakukan pendataan secara benar dan maksimal untuk mendatangi
rumah-rumah pemilih.
3.Faktor Sosialisasi
Sosialisasi
atau menyebarluaskan pelaksanaan pemilu di Indonesia sangat penting dilakukan
dalam rangka memenimalisir golput. Hal ini di sebabkan intensitas pemilu di
Indonesia cukup tinggi mulai dari memilih kepala desa, bupati/walikota,
gubernur pemilu legislatif dan pemilu presiden hal ini belum dimasukkan
pemilihan yang lebih kecil RT/ RW. Kondisi lain yang mendorong sosialisi sangat
penting dalam upaya meningkatkan partisipasi politik masyarakat adalah dalam
setiap pemilu terutama pemilu di era
reformasi selalu diikuti oleh sebagian
peserta pemilu yang berbeda
Kondisi ini menuntut perlunya sosialisasi
terhadap masyarakat. Permasalahan berikut yang menuntut perlunya sosialisasi
adalah mekanisme pemilihan yang berbeda antara pemilu sebelum reformasi dengan
pemilu sebelumnya. Dimana pada era orde baru hanya memilih lambang partai
sementara sekarang selian memilih lambang juga harus memilih nama salah satu
calon di pertai tersebut. Perubahan yang signifikan adalah pada pemilu 2009
dimana kita tidak lagi mencoblos dalam memilih tetapi dengan cara menandai.
Kondisi ini semualah yang menuntu pentingnya sosialisasi dalam rangka
menyukseskan pelaksanaan pemilu dan memenimalisir angka golput dalam setiap
pemilu. Terlepas dari itu semua penduduk di Indonesia sebagai besar berada di
pedesaan maka menyebar luaskan informasi pemilu dinilai pentingi, apalagi bagi
masyarakat yang jauh dari akses transportasi dan informasi, maka sosiliasi dari
mulut ke mulut menjadi faktor kunci mengurangi angka golput.
4. Faktor
Politik
Faktor
politik adalah alasan atau penyebab yang ditimbulkan oleh aspek politik
masyarakat tidak mau memilih. Seperti ketidak percaya dengan partai, tak punya
pilihan
dari
kandidat yang tersedia atau tak percaya bahwa pileg/pilkada pilgub dll tidak akan
membawa perubahan dan perbaikan. Kondisi inilah yang mendorong masyarakat untuk
tidak menggunakan hak pilihnya. Stigma politik itu kotor, jahat, menghalalkan
segala cara dan lain sebagainya memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap
politik sehingga membuat masyarakat enggan untuk menggunakan hak pilih. Stigma
ini terbentuk karena tabiat sebagian politisi yang masuk pada kategori politik
instan. Politik dimana baru mendekati masyarakat ketika akan ada agenda politik
seperti pemilu. Maka kondisi ini meruntuhkan kepercayaan masyarakat pada
politisi. Faktor lain adalah para politisi yang tidak mengakar, politisi yang
dekat dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Sebagian politisi lebih dekat dengan
para petinggi partai, dengan pemegang kekuasaan. Mereka lebih menngantungkan
diri pada pemimpinnya di bandingkan mendekatkan diri dengan konstituen atau
pemilihnya. Kondisi lain adalah tingkah laku politisi yang banyak berkonflik
mulai konflik internal partai dalam mendapatkan jabatan strategis di partai,
kemudian konflik dengan politisi lain yang berbeda partai. Konflik seperti ini
menimbulkan anti pati masyarakat terhadap partai politik. Idealnya konflik yang
di tampilkan para politisi seharusnya tetap mengedepankan etika politik
(fatsoen). Politik pragamatis yang semakin menguat, baik dikalangan politisi
maupun di sebagian masyarakat. Para politisi hanya mencari keuntungan sesaat
dengan cara mendapatkan suara rakyat. Sedangan sebagian masyarakat kita,
politik dengan melakukan transaksi semakin menjadi-jadi. Baru mau mendukung,
memilih jika ada mendapatkan keutungan materi, maka muncul ungkapan kalau tidak
sekarang kapan lagi, kalau sudah jadi/terpilih mereka akan lupa janji.
Kondisi-kondisi yang seperti penulis uraikan ini yang secara politik
memengaruhi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Sebagian Masyarakat
semakin tidak yakin dengan politisi. Harus diakui tidak semua politisi seperti
ini, masih banyak politisi yang baik, namun mereka yang baik tenggelam
dikalahkan politisi yang tidak baik.
PENUTUP/KESIMPULAN
Angka masyarakat yang tidak
memilih atau golput dari pemilu ke pemilu terus meningkat. Dari pembahasan
tulisan ini tergambar setidaknya ada lima faktor yang membuat orang tidak memilih mulai dengan faktor teknis dan
pekerjaan merupakan faktor internal serta faktor ekternal yang terdiri dari
administratif, sosialisasi dan politik. Kelima faktor ini berkontribusi terhadap meningkatnya angka
golput. Harus ada upaya yang maksimal untuk memenimalisir meningkatnya angka
masyarakat yang tidak memilih dalam pemilu. Karena kualitas pemilu secara tidak
langsung juga dilihat dari legitimasi pemimpin yang terpilih. Semakin kuat
dukungan rakyat semakin kuatlah tingkat kepercayaan rakyat.oleh karena itu
perlu adanya reformasi di segala aspek
agar dapat meningkat partisipasi masyarakat dalam pemilu terutama aspek-aspek
sebagai berikut,
- Partai politik dan para wakil rakyat harus menunjukan/membuktikan kepada rakyat bahwa mereka adalah penyambung aspirasi dan pembela hak-hak rakyat serta dapat meningkatkan kinerja nya,tampa harus melakukan politisasi yang bersifat instan atau pencintraan diri
- para wakil rakyat,dalam membuat keputusan dan kebijakan agar selalu mengutamakan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi ,partai dan golongannya
- pemimpin harus bersikap adil dan harus menegakkan hokum sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku,dan yang terpenting adalah TUNJUKAN MORALITAS DAN PRESTASIMU,,JANGAN SIBUK DENGAN PENCITRAAN DIRI serta MENGENDUTKAN KANTONG PRIBADI DAN PERUTMU,,salam sukses..
\\\\BY LAHAMA MALANDA UTA////
Sumber rujukan
Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004
Sanit, Arbi (Eds). Aneka Pandangan Fenomena Politik Golput, Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan, 1992 Sastroadmojo, Sudjono. Perilaku Politik, IKIP Semarang
Press, 1995 Wahid, Abdurrahman, Halim HD, Dkk. Mengapa Kami Memilih Golput,
Sagon, Jakarta, 2009